Adaptasi bencana adalah serangkaian langkah atau tindakan untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidup dengan menyesuaikan lingkungan sekitar. Pola adaptasi muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada cara manusia mengubah perilaku mereka sesuai dengan kondisi lingkungan. Adapun bentuk adaptasi yang muncul bervariasi sesuai dengan jenis bencana karakteristik masyarakat yang berbeda-beda.
|
Apa yang dimaksud adaptasi bencana? Apa saja jenis-jenis bencana? Langkah adaptasi bencana? |
Mengingat kita tinggal di daerah rawan bencana, penting untuk melakukan adaptasi terhadap potensi bencana guna menjaga kelangsungan hidup. Kemampuan kita untuk beradaptasi sangat dipengaruhi oleh kapasitas yang kita miliki, struktur pengambilan keputusan dalam masyarakat, dan ketersediaan teknologi.
Adaptasi Bencana Alam
Berikut adalah beberapa contoh adaptasi terkait bencana alam yang terjadi di Indonesia:
1. Adaptasi Bencana Gempa Bumi
Adaptasi bencana gempa bumi yakni perubahan dalam bentuk dan konstruksi bangunan permukiman yang sesuai dengan syarat dan standar kelayakan hunian. Salah satu strategi adaptasi fisik yang paling jelas adalah perubahan konstruksi rumah untuk menghadapi potensi gempa bumi.
Adaptasi juga mencakup upaya masyarakat untuk memastikan ketahanan mereka dalam hal pangan. Salah satu langkah adaptasi ini adalah dengan membangun "living food bank," di mana tanaman palawija, kelapa, jengkol, rambutan, pisang, ubi kayu, ubi jalar, dan sejenisnya ditanam. Tujuannya adalah agar jika suatu saat terjadi gempa, masyarakat tetap memiliki persediaan pangan yang cukup untuk bertahan.
2. Adaptasi Bencana Tsunami
Upaya adaptasi dalam menghadapi bencana tsunami mencakup berbagai langkah, di antaranya:
- Partisipasi Masyarakat: Masyarakat di wilayah pesisir yang memiliki pengalaman dan pengetahuan terkait bencana tsunami diaktifkan untuk berpartisipasi. Mereka dapat memberikan wawasan yang berharga dalam perencanaan dan penanganan bencana.
- Pembangunan Breakwater: Pembangunan tembok pemecah gelombang atau breakwater bertujuan untuk mengurangi dampak gelombang tsunami dan melindungi pesisir.
- Penunjuk Jalur Evakuasi: Pemasangan papan penunjuk jalur evakuasi dan rambu-rambu yang menandai arus balik di pantai membantu masyarakat dalam menemukan rute yang aman saat terjadi tsunami.
- Pembangunan Seawall: Pembangunan tanggul laut atau seawall menjadi langkah penting dalam menjaga ketahanan pesisir terhadap serangan tsunami.
- Sosialisasi Evakuasi: Masyarakat diberikan edukasi secara berkala tentang rawan bencana, konsep desa tangguh bencana, dan pembentukan kelompok siaga bencana.
Partisipasi masyarakat bukan hanya berperan dalam tahap perencanaan, tetapi juga dalam proses rehabilitasi dan saat bencana terjadi. Kesadaran dan keterlibatan masyarakat adalah elemen fundamental dalam mitigasi bencana tsunami.
3. Adaptasi Bencana Gunung Meletus
Masyarakat memiliki beberapa opsi untuk beradaptasi dengan ancaman bencana gunung meletus. Salah satu cara yang dapat diambil adalah dengan memperkuat infrastruktur rumah, seperti membangun rumah yang kokoh, dengan dinding yang tebal dan atap yang tahan terhadap hujan dan abu vulkanik. Selain itu, masyarakat juga sebaiknya menggunakan masker dan berpakaian tebal agar terlindungi dari cuaca dingin di pegunungan serta potensi paparan abu vulkanik.
4. Adaptasi Bencana Tanah Longsor
Dalam upaya menghadapi bencana tanah longsor, kita dapat menerapkan konsep yang dijelaskan oleh Berry John (1980), yang mencakup tiga jenis adaptasi: adaptasi melalui reaksi (adaptation by reaction), adaptasi melalui penyesuaian (adaptation by adjustment), dan adaptasi melalui perubahan lingkungan (adaptation by withdrawal).
a. Adaptasi Melalui Reaksi (Adaptation by Reaction): Salah satu cara untuk mengatasi tanah longsor adalah dengan melakukan adaptasi melalui reaksi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menanam pohon di daerah yang berpotensi terkena tanah longsor. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko tanah longsor dengan mengkonsolidasikan tanah dan mencegah erosi.
b. Adaptasi Melalui Penyesuaian (Adaptation by Adjustment): Strategi adaptasi lainnya adalah dengan mengubah perilaku masyarakat terhadap lingkungannya agar lebih sesuai dan aman. Hal ini melibatkan upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bahaya tanah longsor, serta mengajarkan tindakan pencegahan dan respons yang tepat dalam situasi tersebut.
c. Adaptasi Melalui Perubahan Lingkungan (Adaptation by Withdrawal): Salah satu langkah ekstrem dalam adaptasi terhadap tanah longsor adalah dengan meninggalkan daerah yang rawan dan beralih ke tempat tinggal yang lebih aman. Hal ini merupakan tindakan terakhir jika risiko tanah longsor sangat tinggi dan tidak dapat diatasi dengan cara lain.
5. Adaptasi Bencana Banjir
Adaptasi terhadap ancaman bencana banjir mencakup perbaikan, rekayasa, dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Ada beberapa bentuk adaptasi yang telah diterapkan dalam menghadapi banjir.
a. Adaptasi Aktif: Strategi ini mengoptimalisasi peran manusia dalam menghadapi dinamika lingkungan. Contohnya menjadi tukang ojek perahu, meningkatkan pondasi atau lantai rumah, membangun rumah bertingkat, dan meningkatkan perlengkapan rumah tangga dengan berbagai teknik khusus.
b. Adaptasi Pasif: Strategi ini mengubah perilaku manusia sesuai dengan perubahan lingkungan yang bersifat pasif. Sebagai contoh, masyarakat memperoleh pengetahuan tentang prediksi musim hujan yang berpotensi menyebabkan banjir, sehingga mereka dapat melakukan persiapan.
c. Adaptasi Sosial: Ketika menghadapi bencana banjir, masyarakat sering menunjukkan adaptasi sosial dengan cara gotong royong dan meningkatkan solidaritas antar warga. Hal ini mencakup berbagi makanan, membantu dalam upaya evakuasi, perbaikan rumah, pembuatan pos pengungsian, dapur umum, dan lainnya.
d. Adaptasi Ekonomi: Dalam menghadapi banjir, masyarakat melakukan adaptasi ekonomi dengan menerima bantuan gratis dari lembaga sosial, seperti makanan dan pakaian. Untuk mengurangi kerugian dan kerusakan pada peralatan rumah tangga, barang-barang berharga ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi agar tidak terendam banjir.
e. Adaptasi Budaya: Saat bencana banjir melanda, masyarakat sering mengadakan tahlilan dan doa bersama. Beberapa kelompok masyarakat masih menjalankan tradisi sedekah bumi sebagai bentuk adat yang dijaga hingga sekarang. Selain itu, pembangunan floodway atau saluran pembuangan air juga digunakan untuk mengurangi risiko banjir.
6. Adaptasi Bencana Rob
Banjir rob adalah fenomena naiknya permukaan laut atau air laut ke daratan. Terdapat beberapa langkah adaptasi yang dapat diambil untuk menghadapi bencana banjir rob, yakni:
1. Adaptasi di Sekitar Tempat Tinggal
Adaptasi ini dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti meninggikan lantai dan atap rumah, membangun rumah bertingkat, menguruk tanah untuk menghambat air masuk, serta membangun talud sepanjang jalan untuk mencegah air merambah ke dalam rumah. Selain itu, barang-barang rumah tangga seperti pipa distribusi air bersih dapat ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi untuk menghindari terendam air.
2. Adaptasi di Lahan Tambak
Pada lahan tambak, adaptasi dapat dilakukan dengan meninggikan tanggul tambak dan pemasangan jaring pengaman di sekitarnya. Tanggul tambak dibangun untuk mencegah air dan hewan-hewan tambak meluap ke jalan-jalan dan wilayah sekitarnya.
3. Adaptasi Sosial
Dalam menghadapi banjir rob, masyarakat dapat melibatkan diri dalam kegiatan gotong royong, seperti bekerja sama dalam pembangunan jalan yang lebih tinggi, pemasangan pompa penyedot banjir rob, dan perbaikan fasilitas umum lainnya.
4. Adaptasi Ekonomi
Masyarakat juga perlu mempertimbangkan adaptasi ekonomi. Hal ini berarti beralih dari mata pencaharian sebelumnya, seperti petani tambak dan nelayan, ke pekerjaan lain di luar wilayah tempat tinggal mereka, seperti menjadi buruh, pedagang, atau berbagai pekerjaan lain yang mampu memungkinkan adaptasi ekonomi.
5. Adaptasi Budaya
Penting untuk mempertahankan dan memperkuat budaya gotong-royong dan nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat. Hal ini akan menjadi kekuatan tambahan dalam menjaga solidaritas dan kerja sama dalam menghadapi bencana banjir rob, di mana saling membantu adalah kunci untuk bertahan.
7. Adaptasi Bencana Kekeringan
Bencana kekeringan berkaitan erat dengan ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan untuk memenuhi berbagai aspek kehidupan, seperti pemenuhan kebutuhan pokok, pertanian, aktivitas ekonomi, dan kelestarian lingkungan.
a. Meningkatkan Kapasitas Daerah Aliran Sungai (DAS): Upaya ini dapat dilakukan dengan memperkuat fungsi DAS sebagai area yang mampu menyerap dan mempertahankan air, sehingga dapat menjaga ketersediaan air yang lebih stabil.
b. Pembangunan, Pengelolaan, dan Rehabilitasi Infrastruktur Air Besar: Hal ini mencakup pembangunan dan pengelolaan bendungan, dam, waduk, serta reservoir dengan kapasitas besar yang dapat mengatasi fluktuasi aliran air musiman. Pemanfaatan teknologi seperti pemantauan satelit dan prakiraan cuaca juga dapat mendukung pengelolaan yang lebih efektif.
c. Pengembangan Teknologi Irigasi Baru: Penggunaan teknologi irigasi modern seperti spray dan drip irrigation tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas pertanian, tetapi juga membantu dalam penghematan air.
d. Penyelenggaraan Program Kampanye Hemat Air: Edukasi masyarakat mengenai pengelolaan air yang efisien sangat penting. Melalui program kampanye, masyarakat diajak untuk mengurangi pemborosan air dalam kehidupan sehari-hari, seperti penggunaan air domestik agar lebih bijaksana.
8. Adaptasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
Setiap komunitas memiliki cara tersendiri dalam menyesuaikan diri saat menghadapi bencana. Dalam konteks ini, kita akan membahas adaptasi bencana yang dilakukan oleh masyarakat di daerah yang rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, seperti yang terjadi di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti.
a. Adaptasi Fisik: Masyarakat melakukan adaptasi fisik dengan cara membangun sekat kanal dan embung di lahan mereka. Hal ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menyimpan air sebagai cadangan yang dapat digunakan untuk kebutuhan pertanian dan sebagai langkah pencegahan saat terjadi kebakaran hutan.
b. Adaptasi Ekonomi: Dalam rangka mencari sumber pendapatan, masyarakat Desa Sungai Tohor terlibat dalam berbagai jenis pekerjaan. Mereka bertani, menjadi buruh potong, dan buruh angkut tual sagu sebagai upaya untuk mencapai kemandirian ekonomi.
c. Adaptasi Struktural: Masyarakat Desa Sungai Tohor aktif berkolaborasi dengan pemerintah dan lembaga-lembaga desa untuk menjalankan berbagai program ramah lingkungan, terutama terkait dengan pelestarian gambut. Kerjasama ini bertujuan untuk mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan.
d. Adaptasi Kultural: Sebagai bagian dari budaya mereka, masyarakat Desa Sungai Tohor menghindari praktik membuka lahan dengan cara membakar, yang dapat menyebabkan kebakaran hutan.
9. Adaptasi Bencana Puting Beliung
Puting beliung memiliki potensi merusak yang dapat menyebabkan kerugian jiwa, harta benda, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis yang serius. Untuk mengurangi risiko akibat puting beliung, penting untuk mengambil langkah-langkah adaptasi yang melibatkan peningkatan struktur fisik bangunan tempat tinggal, serta peningkatan kemampuan dan pengetahuan dalam menghadapi bencana puting beliung
Adaptasi Bencana Non Alam
1. Adaptasi Bencana Wabah Penyakit
Wabah penyakit adalah fenomena penyebaran penyakit yang luas dan menular di antara penduduk. Pada pertengahan hingga akhir abad ke-14, Eropa mengalami pandemi besar yang dikenal sebagai "black death" dan mengakibatkan kematian sepertiga hingga dua pertiga populasi Eropa. Saat ini, dunia dihadapkan pada pandemi penyakit Covid-19, yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem pernapasan manusia. Pandemi ini tidak terbatas pada satu wilayah saja, melainkan telah menyebar ke berbagai negara yang jauh dari pusat wabah.
Untuk menjaga produktivitas selama pandemi, masyarakat telah mengadopsi kebiasaan baru dengan menerapkan perilaku pencegahan penularan Covid-19. Beberapa adaptasi ini meliputi:
- Selalu menggunakan masker saat keluar rumah.
- Menghindari menyentuh mata, hidung, dan mulut sebelum mencuci tangan.
- Menjaga jarak fisik 1-2 meter.
- Rutin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
- Membawa hand sanitizer saat bepergian.
- Mengonsumsi makanan bergizi untuk menjaga sistem kekebalan tubuh.
- Melakukan olahraga secara teratur.
2. Adaptasi Bencana Kegagalan Teknologi
Selain wabah penyakit, kegagalan teknologi juga merupakan jenis bencana non-alam. Kegagalan teknologi disebabkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian, atau tindakan manusia dalam penggunaan teknologi dan industri. Untuk mengurangi risiko bencana akibat kegagalan teknologi, beberapa adaptasi yang dapat dilakukan meliputi:
- Membatasi dan mengurangi kapasitas penyimpanan bahan kimia berbahaya dan mudah terbakar.
- Meningkatkan standar keselamatan pabrik dan desain peralatan.
- Membuat prosedur operasi penyelamatan dalam kasus kecelakaan teknologi.
3. Adaptasi Bencana Kegagalan Modernisasi
Kegagalan modernisasi juga merupakan bencana non-alam. Untuk menghadapi kegagalan modernisasi, adaptasi yang dapat dilakukan meliputi: Melakukan pembangunan yang merata, sehingga daerah tertinggal juga mendapatkan akses dan fasilitas yang sama dengan daerah yang sudah maju.
Adaptasi Bencana Sosial
Adaptasi yang dapat dilakukan saat menghadapi bencana sosial mencakup langkah-langkah seperti memperkuat semangat gotong royong, meningkatkan rasa nasionalisme, dan aktif melibatkan peran orang tua serta lembaga pendidikan. Upaya ini bertujuan sebagai langkah preventif untuk menghindari terjadinya tindakan kriminal dan untuk mencegah warga terlibat dalam perilaku kejahatan. Selain itu, masyarakat juga berkomitmen untuk menjaga nilai-nilai norma melalui pendidikan multikultural yang diterapkan dalam berbagai konteks, seperti di sekolah, dalam kegiatan pengajian, serta melalui berbagai organisasi yang ada dalam lingkungan masyarakat.