Tampilkan postingan dengan label Kelas 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kelas 12. Tampilkan semua postingan
4 Teori Struktur Kota: Konsentris, Sektoral, Inti Ganda, dan Ketinggian Bangunan

4 Teori Struktur Kota: Konsentris, Sektoral, Inti Ganda, dan Ketinggian Bangunan

Kota adalah daerah pemusatan penduduk dengan mayoritas bekerja di luar sektor pertanian, serta hubungan yang rasional, ekonomis, dan individualistis. Kota memiliki empat jenis pola perkembangan yakni, pola sentralisasi, desentralisasi, nukleasi, dan segregasi. Terdapat empat teori terkait struktur kota, yakni Teori Konsentris, Teori Sektoral, Teori Inti Ganda, dan Teori Ketinggian Bangunan.



Teori Struktur Kota: Konsentris, Sektoral, Inti Ganda, dan Ketinggian Bangunan
Jelaskan apa yang dimaksud dengan struktur kota?
Sebutkan 4 pola keruangan kota apa saja?
Apa yang dimaksud dengan pola keruangan kota?
Bagaimana pola kota menurut teori konsentris?



Pengertian Kota


Pengertian kota yang umumnya digunakan di Indonesia adalah suatu tempat di mana penduduk berkumpul dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, karena terjadi pemusatan kegiatan yang terkait dengan aktivitas atau kehidupan penduduknya.


Dalam perumusan lain yang sering digunakan di Indonesia, seperti yang disebutkan dalam Modul Perencanaan Kota yang diterbitkan oleh UT, kota didefinisikan sebagai wilayah permukiman dengan jumlah penduduk yang relatif besar, tetapi memiliki luas wilayah terbatas. Wilayah ini biasanya tidak bersifat pertanian, memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, dan menjadi tempat tinggal bagi sekelompok orang dalam kawasan geografis tertentu yang cenderung memiliki pola hubungan yang rasional, ekonomis, dan individualistis.


Menurut Kamus Pengembangan Wilayah yang diterbitkan oleh Kementerian PUPR pada tahun 2016, pengertian kota adalah daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi dan fasilitas modern. Mayoritas penduduknya bekerja di luar sektor pertanian, dan wilayah ini cenderung memiliki pola hubungan yang rasional, ekonomis, dan individualistis.


Sumber yang sama juga mendefinisikan istilah "perkotaan" sebagai wilayah yang memiliki aktivitas utama bukan pertanian, dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal, pemusatan dan distribusi pelayanan pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi.


Selama ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli mengenai definisi "kota" (city) dan "perkotaan" (urban). Kedua istilah ini sering dibandingkan dengan "desa" (village) dan "pedesaan" (rural).


Menurut Muhammad Nuh dan Suhartono Winoto dalam buku "Kebijakan Pembangunan Perkotaan" (2017:7), rumusan pengertian kota dapat dibagi menjadi dua kelompok:


Pertama, kota dilihat dari definisi umum sebagai daerah terbangun yang didominasi oleh penggunaan lahan untuk kegiatan non-pertanian, dengan jumlah penduduk yang tinggi dan intensitas pemakaian tanah yang tinggi. Definisi ini menekankan bahwa kota berfungsi sebagai tempat bagi kegiatan non-pertanian, tempat tinggal banyak penduduk, serta pusat aktivitas ekonomi dan pelayanan jasa.


Kedua, definisi kota dikaitkan secara khusus dengan administrasi pemerintahan. Dalam konteks ini, kota dimaknai sebagai bentuk pemerintahan daerah di mana mayoritas wilayahnya merupakan kawasan perkotaan.


Definisi pertama lebih umum digunakan dalam studi geografi dan perencanaan kota karena lebih jelas dalam membedakan wilayah mana yang dapat disebut sebagai kota dan yang bukan, atau sebagai desa.


Kota menjadi objek kajian penting dalam ilmu geografi karena wilayah perkotaan dapat berkembang dengan cepat dan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan banyak penduduk yang tinggal di dalamnya. Salah satu aspek yang dipelajari dalam geografi adalah pola keruangan kota.



Pola Keruangan Kota


Kota pada umumnya bukanlah wilayah yang benar-benar sudah menjadi kawasan perkotaan sejak awal dibangun. Biasanya, wilayah kota semula berupa kawasan perdesaan yang kemudian berkembang secara bertahap menjadi makin ramai, padat penduduk dan tambah lengkap fasilitasnya, serta akhirnya berubah menjadi perkotaan.


Merujuk publikasi LPPM UNY (2012) bertajuk "Pola Keruangan Desa dan Kota," keberadaan berbagai fasilitas dan beragam aktivitas di perkotaan kemudian membentuk struktur ruang kota yang khas. Struktur ruang kota itu berbeda dari yang ada di desa, dan juga bisa berbeda antar-kota.


Struktur ruang kota merujuk pada semua elemen di sebuah kota, termasuk bentang alam (seperti bukit, gunung, sungai, dan lain-lain) maupun bangunan buatan manusia (seperti gedung, permukiman, fasilitas industri, dan sarana transportasi) di permukaan bumi.


Struktur ruang kota biasanya memiliki bentuk dan pola tertentu sesuai dengan perkembangan masing-masing kawasan perkotaan. Sebagai contoh, di Pulau Jawa, kota-kota biasanya memiliki pusat yang terdiri dari alun-alun, masjid agung, kantor pemerintahan, pusat pertokoan, pasar besar, dan rumah sakit. Hal ini tentu berbeda dengan negara-negara lain atau sebagian kota di luar Jawa.


Pola keruangan kota juga dapat mencerminkan skema perkembangan wilayahnya. Menurut modul Geografi XII KD 3.2 dan 4.2 (2020) dari Kemdikbud, terdapat setidaknya empat pola perkembangan ruang kota yang sering terjadi.


Keempat pola perkembangan ruang kota tersebut adalah sebagai berikut:


  1. Pola sentralisasi, yang terjadi ketika kegiatan di kota cenderung berkumpul di satu wilayah utama.
  2. Pola desentralisasi, yang terjadi ketika kegiatan di kota cenderung menjauhi pusat atau inti wilayah utama.
  3. Pola nukleasi, yang menyerupai pola sentralisasi, tetapi dalam skala yang lebih kecil. Dalam pola nukleasi, inti kegiatan kota masih berada di wilayah utama.
  4. Pola segregasi, yang ditandai dengan sebaran kegiatan kota yang terpisah berdasarkan situasi sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain.


Struktur keruangan kota juga bisa dianalisis dengan berbagai teori atau pendekatan, termasuk teori konsentris, teori inti ganda, teori sektoral, dan teori ketinggian bangunan. Berikut adalah penjelasannya.



Teori Struktur Keruangan Kota

 

1. Teori Konsentris (Ernest W. Burgess)


Teori konsentris dikembangkan oleh Ernest Watson Burgess (1886-1966), seorang sosiolog dari Amerika Serikat yang mendalami juga perkembangan kota. Teori konsentris ini muncul dari studi yang dilakukan oleh Burgess terhadap ruang kota Chicago, AS.


Dalam teori konsentris, kawasan kota berkembang dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang bersifat konsentris. Menurut Burgess, sebuah kota akan berkembang membentuk lima zona konsentris, dan setiap zona yang muncul akan mencerminkan pola penggunaan lahan tertentu.


Adapun perincian 5 zona kota menurut teori konsentris adalah sebagai berikut:


a. Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District)


Zona ini adalah pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Oleh karena itu, zona ini memiliki banyak fasilitas utama untuk kegiatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Jaringan transportasi kota juga berpusat di zona ini, yang mengakibatkan zona pusat kegiatan memiliki aksesibilitas yang tinggi.


Biasanya, di zona pusat kegiatan terdapat gedung-gedung pemerintahan, pusat perbelanjaan besar, bangunan perkantoran yang tinggi (gedung pencakar langit), bank, hotel, restoran, stasiun, dan lain-lain.


b. Zona Peralihan (Transition Zone)


Zona ini banyak dihuni oleh golongan penduduk berpenghasilan rendah dan migran yang baru datang atau belum lama melakukan urbanisasi dari desa. Oleh karena itu, zona ini berkembang menjadi kawasan padat penduduk.


Aktivitas perdagangan dan industri di Zona Pusat Kegiatan yang terus meningkat mendorong permukiman murah bergeser ke zona kedua ini. Zona ini juga mengalami penurunan kualitas lingkungan permukiman yang terus-menerus. Karena itu, di zona kedua ini, sering muncul daerah permukiman kumuh (slums area), dan banyak penduduknya yang miskin.


c. Zona Kelas Rendah (Zone of Low Status)


Perumahan di zona ketiga ini umumnya lebih baik dan sudah teratur. Mayoritas penghuni zona ketiga adalah bekas penghuni zona kedua yang bekerja sebagai pekerja pabrik, karyawan, dan sejenisnya.


Keberadaan permukiman pekerja berpenghasilan rendah di zona ketiga ini ditandai dengan banyaknya rumah kecil maupun rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Kondisi permukiman di zona ketiga lebih baik dibandingkan dengan zona kedua, meskipun mayoritas penduduknya berada dalam kategori menengah ke bawah.


d. Zona Kelas Menengah (Zone of Middle Status)


Kawasan ini dihuni oleh kelas menengah yang terdiri dari pekerja profesional, pemilik usaha, pengusaha, pegawai dengan penghasilan menengah ke atas, dan sejenisnya. Perumahan penduduk di zona ini berupa rumah pribadi yang cukup besar dan tertata rapi. Biasanya, terdapat pusat perbelanjaan kecil untuk memenuhi kebutuhan warga yang ada di zona keempat ini.


Mengingat status ekonomi penduduknya sudah menengah-atas, kompleks perumahan di zona keempat ini sudah dibangun dengan perencanaan yang baik, teratur, nyaman, dan fasilitas yang memadai.


e. Zona Kelas Tinggi (Zone of High Status)


Zona kelima ini berupa kawasan yang sudah memasuki daerah belakang kota (hinterland) atau batas desa-kota. Penduduk yang bekerja di kota tetapi tinggal di pinggiran kota merupakan penghuni zona ini.


Zona kelima ini merupakan bagian terluar dari kota dan merupakan kawasan perumahan mewah. Lapisan ini hanya ditempati oleh mereka yang memiliki kendaraan pribadi sehingga dapat pulang-pergi ke tempat kerja di pusat kota. Zona ini berkembang sebagai kawasan yang memicu tumbuhnya kota-kota satelit.



2. Teori Inti Ganda (Harris-Ullman)


Teori inti ganda dikembangkan pertama kali oleh C.D. Harris dan F.L. Ullmann (1945). Mereka beranggapan bahwa struktur ruang kota tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang memiliki satu pusat kegiatan. Sebaliknya, struktur ini terbentuk secara terus-menerus sehingga muncul beberapa pusat kegiatan baru di kota yang saling terpisah.


Menurut teori inti ganda, struktur ruang kota tidak memiliki urutan yang teratur, berbeda dengan teori konsentris yang menganggap struktur ruang kota sudah tertata rapi. Teori inti ganda menganggap sangat mungkin tercipta beberapa titik pusat pertumbuhan baru di suatu kota.


Maka itu, teori inti ganda menganggap ada beberapa inti kota dalam suatu wilayah perkotaan, misalnya kompleks pusat pemerintahan, pelabuhan, kompleks kegiatan ekonomi (pasar dan mal), dan lain-lain, yang muncul tidak di satu area yang tergabung.


Struktur ruang kota menurut teori inti ganda adalah sebagai berikut:


  1. Pusat Kota atau CBD
  2. Kawasan Niaga dan Industri Ringan
  3. Kawasan Murbawisma atau Permukiman Kualitas Rendah
  4. Kawasan Madyawisma atau Permukiman Kualitas Sedang
  5. Kawasan Adiwisma atau Tempat Tinggal Kualitas Tinggi
  6. Pusat Industri Berat
  7. Pusat Niaga atau Perbelanjaan Lain di Pinggir Kota
  8. Upakota (Sub-urban) untuk Kawasan Madyawisma dan Adiwisma
  9. Upakota (Sub-urban) untuk Kawasan Industri.



3. Teori Sektoral (Homer Hoyt)


Teori sektoral atau sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt, seorang ahli ekonomi dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai perintis kajian perencanaan, penggunaan lahan, serta zonasi ekonomi.


Menurut teori sektoral, struktur ruang kota berkembang karena adanya sektor-sektor yang membentuk sejumlah lingkaran konsentris. CBD atau pusat ekonomi masih berada di pusat kota, tetapi bagian-bagian lainnya berkembang menurut sektor-sektor yang berbentuk seperti irisan kue tart.


Perkembangan seperti ini dapat terjadi karena ada pengaruh faktor geografis alami maupun buatan, seperti bentuk lahan, pengembangan jalan, serta penyediaan sarana komunikasi dan transportasi. Teori sektoral membagi wilayah kota menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut:


  1. Daerah Pusat Kota atau CBD, terdiri atas pusat ekonomi, sosial, pemerintahan, dan budaya.
  2. Zona Wholesale Light Manufacturing yang terdiri atas industri kecil dan perdagangan.
  3. Zona Permukiman Kelas Rendah yang menjadi tempat tinggal pekerja industri di kota dengan penghasilan kecil.
  4. Zona Permukiman Kelas Menengah yang ditinggali oleh penduduk kota dengan penghasilan tinggi.
  5. Zona Permukiman Kelas Tinggi, yaitu permukiman golongan kelas atas di kota.



4. Teori Ketinggian Bangunan (Bergell)


Teori ketinggian bangunan dikembangkan oleh Bergell (1955). Bergell berpendapat bahwa ketinggian bangunan di wilayah kota perlu diperhatikan untuk menganalisis struktur keruangannya.


Variabel ketinggian bangunan perlu menjadi perhatian di kota-kota negara maju, karena berkaitan dengan hak setiap warga kota untuk mendapatkan kehidupan yang nyaman.


Teori ini berkaitan dengan pengaturan ketinggian bangunan dalam hubungannya dengan penggunaan lahan. Hal ini berguna untuk mencegah kesemrawutan dalam tata ruang kota.

Kota: Pengertian, Elemen, Klasifikasi, dan Stadia Perkembangan

Kota: Pengertian, Elemen, Klasifikasi, dan Stadia Perkembangan

Kawasan perkotaan adalah wilayah dengan aktivitas utama bukan pertanian, dengan fungsi utama mencakup pemukiman, distribusi layanan pemerintah, pelayanan sosial, dan aktivitas ekonomi. Kota memiliki elemen utama: manusia, alam, ruang, jaringan, dan masyarakat.



Pengertian, Elemen, Klasifikasi, dan Stadia Perkembangan Kota
Apa karakteristik kota?
Apa itu klasifikasi kota?
Klasifikasi kota berdasarkan tingkat perkembangan?
Apa yang dimaksud dengan perkembangan kota?


Pengertian Kota dan Perkotaan



Pengertian kota secara umum merujuk pada suatu wilayah dengan aktivitas ekonomi yang bukan bersifat agraris, fasilitas publik yang lengkap, serta dihuni oleh jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Perlu diperhatikan bahwa konsep wilayah perkotaan memiliki perbedaan mendasar yang layak untuk dikaji. Meskipun begitu, jika kita melihat dari perspektif pembentukannya, kota merupakan hasil dari evolusi wilayah pedesaan.


Kamus Tata Ruang memberikan definisi kota sebagai wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya. Hal ini terjadi akibat adanya pemusatan aktivitas fungsional yang berkaitan dengan penduduk.


  • Menurut Bintarto, kota merupakan sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai oleh tingginya kepadatan penduduk serta keragaman sosial ekonomi yang bersifat materialistis.
  • Menurut Harris dan Ullman, kota adalah pusat bagi pemukiman dan pemanfaatan ruang bumi yang diorganisir oleh manusia dengan cermat. Kota ditandai oleh pertumbuhan wilayah yang cepat dan meluas.
  • Menurut Weber, kota adalah suatu wilayah tempat tinggal yang dicirikan oleh kemampuan masyarakatnya untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.


Dari definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa kota adalah wilayah yang berfungsi sebagai pusat pemukiman dan aktivitas ekonomi bagi masyarakat yang memiliki keunggulan sumber daya manusia. Kota memiliki kapasitas untuk memberikan peluang yang lebih besar daripada wilayah pedesaan. Karenanya, tak heran jika banyak penduduk pedesaan yang memutuskan untuk berpindah ke kota dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup mereka.


Selain kota, terdapat juga istilah "perkotaan" yang merujuk pada suatu kawasan pemukiman yang mencakup kota utama dan daerah sekitar dengan batas administratif yang dipengaruhi oleh kota utama tersebut. Kawasan perkotaan juga berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi, industri, distribusi layanan pemerintahan, serta pelayanan sosial. 


Kawasan perkotaan adalah wilayah dengan aktivitas utama yang bukan pertanian, dengan fungsi-fungsi utamanya mencakup pemukiman, distribusi layanan pemerintah, pelayanan sosial, dan aktivitas ekonomi.



Karakteristik Perkotaan



Kawasan perkotaan memiliki ciri khas geografis yang unik, ditandai dengan pola perkembangan yang didominasi oleh struktur bangunan, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, dan proporsi lahan yang terbatas. Masyarakat perkotaan secara umum cenderung menunjukkan sifat individualis, kosmopolitan, dan pola interaksi sosial yang terkadang tersegmentasi.


Variasi dalam aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan cenderung beragam, mencakup sektor-sektor ekonomi non-agraris yang beragam. Selain sebagai tempat tinggal, perkotaan juga berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi seperti pasar, pusat pelayanan, pusat pemerintahan, pusat militer, pusat kegiatan keagamaan, dan pusat pendidikan. Masyarakat yang mendiami perkotaan memiliki latar belakang ekonomi, suku, dan budaya yang beragam.



Elemen Perkotaan



Sebuah kota merupakan hasil dari sejumlah elemen penting yang secara bersama membentuk dan menggerakkan dinamika perkotaan. Kelima elemen utama yang membentuk struktur kota adalah manusia, alam, ruang, jaringan, dan masyarakat. Mari kita bahas lebih rinci masing-masing komponen kota ini:


1. Manusia


Sumber daya manusia adalah motor penggerak utama dari kemajuan sebuah kota. Kualitas tenaga kerja kota menjadi faktor kunci yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kota. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas, kota dapat menjadi pusat pembangunan yang berkelanjutan.


2. Alam


Sumber daya alam seperti tanah, kekayaan alam, dan kondisi iklim berperan penting dalam membentuk karakter suatu kota. Faktor-faktor tersebut, termasuk hasil pertanian, sumber daya tambang, dan hasil laut, memengaruhi pertumbuhan ekonomi kota. Keberlimpahan sumber daya alam dapat menjadi dorongan besar bagi industri kota.


3. Ruang


Ruang fisik adalah tempat di mana seluruh aktivitas kota berlangsung. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang yang efektif menjadi kunci dalam pengembangan kota. Tata ruang mengatur struktur fisik dan menjadi panduan dalam menangani isu-isu dan tantangan perkotaan.


4. Jaringan


Jaringan infrastruktur seperti jalan, transportasi, air bersih, sanitasi, energi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, dan perdagangan adalah elemen kunci yang memastikan fungsi kota agar dapat berjalan lancar. Dengan adanya infrastruktur, dapat membantu menciptakan lingkungan permukiman dan usaha yang optimal sesuai dengan kebutuhan kota.


5. Masyarakat


Masyarakat kota telah banyak memiliki perubahan jika dibandingkan dengan pedesaan. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan jelas dan nyata sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar..



Klasifikasi Kota



1. Klasifikasi kota berdasarkan jumlah populasi dan permukiman


Klasifikasi wilayah kota berdasarkan pertumbuhan populasi dan permukiman di dalamnya terbagi menjadi 15 kelompok. Wilayah kota dalam teori Doxiadis dapat diuraikan sebagai berikut.


• Dwelling group : 40 jiwa.

• Small neighborhood : 250 jiwa.

• Neighborhood : 1.500 jiwa.

• Small town : 9.000 jiwa.

• Town : 50.000 jiwa.

• Large city : 300.000 jiwa.

• Metropolis : 2.000.000 jiwa.

• Conurbation : 14.000.000 jiwa.

• Megalopolis : 100.000.000 jiwa.

• Urban region : 700.000.000 jiwa.

• Urban continent : 5.000.000.000 jiwa.

• Ecumenepolis : 30.000.000.000 jiwa.


2. Klasifikasi kota berdasarkan keberadaan pusat pelayanan (retail)


Klasifikasi kota berdasarkan keberadaan pusat pelayanan (retail) dapat dibagi menjadi tiga kategori, sebagaimana dijelaskan oleh Sinulingga (2005):


a. Kota Monosentris


Kota Monosentris adalah jenis kota yang masih dalam tahap perkembangan awal, dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit, dan hanya memiliki satu pusat pelayanan yang juga berfungsi sebagai Central Business District (CBD).

 

Contoh kota monosentris adalah ibu kota kecamatan yang umumnya hanya memiliki satu pusat pelayanan untuk berbagai kegiatan.


b. Kota Polisentris


Jenis Kota Polisentris sudah mengalami perkembangan lebih lanjut, sehingga memerlukan lebih dari satu pusat pelayanan. Jumlah pusat pelayanannya bergantung pada jumlah penduduk yang tinggal di kota tersebut. 


Contoh kota polisentris meliputi kota-kota di daerah dan ibu kota kabupaten, yang memiliki lebih dari satu pusat pelayanan.


c. Kota Metropolitan


Kota metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit yang terletak cukup jauh dari urban fringe kota tersebut. Meskipun terpisah secara geografis, kota-kota ini bekerja bersama sebagai satu sistem dalam menyediakan pelayanan bagi penduduk di wilayah metropolitan tersebut. 


Jakarta dan Surabaya adalah contoh kota metropolitan yang terhubung dengan kota-kota satelit di sekitarnya.



Stadia Perkembangan Kota



Kota adalah entitas spasial yang muncul sebagai akibat dari pertumbuhan pesat aktivitas ekonomi di suatu wilayah. Dalam perspektif asal usulnya, setiap kota pada dasarnya adalah sebuah desa yang mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Berikut adalah enam tahap perkembangan kota menurut Lewis Mumford.


1. Tahap Eopolis


Pada tahap ini, kita melihat desa yang telah mengalami transformasi menuju gaya hidup perkotaan. Contohnya, perkembangan kota di daerah pemekaran. Di wilayah ini, kita akan menemukan kelurahan atau kecamatan yang memiliki ciri-ciri pedesaan, tetapi sudah menunjukkan perubahan yang mengarah ke kehidupan perkotaan. 


Jalan-jalan sudah beraspal, listrik digunakan sebagai sumber energi untuk penerangan dan keperluan industri rumah tangga, ponsel telah menjadi alat komunikasi yang umum digunakan, dan sebagian masyarakat telah mengadopsi pola hidup perkotaan. 


Sebagai contoh, kita bisa menyebutkan Desa Punten, Tulungrejo, dan Beji di daerah Batu, Jawa Timur. Perubahan ini terlihat ketika Batu berubah statusnya menjadi kota administrasi kecamatan.


2. Tahap Polis


Tahap kota yang sebagian besar aktivitas ekonominya masih memiliki latar belakang pertanian. Tahap ini sering dijumpai di ibu kota daerah pemekaran, yang masih menerapkan pola agraris karena adanya perpindahan dari kota sebelumnya. 

Contohnya adalah Kota Batu dan Kota Kepanjen, yang masih didominasi oleh aktivitas pertanian sebagai mata pencaharian utama penduduknya.


3. Tahap Metropolis


Pada tahap ini, kota memiliki sektor industri yang mendominasi aktivitas ekonominya. 

Contohnya adalah Kota Sidoarjo, Tangerang, dan Bekasi, di mana sebagian besar penduduk terlibat dalam sektor industri.


4. Tahap Megalopolis 


Tahap wilayah perkotaan telah berkembang menjadi tingkat tertinggi melalui ekspansi atau perluasan wilayah kota. 

Contohnya adalah Jakarta dan Surabaya, yang memperluas pengaruhnya hingga mencakup wilayah sekitarnya, seperti Jabodetabek dan Gerbangkertosusila.


5. Tahap Tiranopolis


Pada tahap ini, wilayah perkotaan menghadapi tantangan berupa masalah-masalah yang sulit dikendalikan, seperti kemacetan, kriminalitas, dan penurunan pelayanan. Hingga saat ini, sepertinya tahap ini belum dialami dalam perkembangan kota-kota di Indonesia.


6. Tahap Nekropolis


Tahap perkembangan kota bergerak menuju kemunduran atau "kota mati."

 

Ketahui Paradigma, Arah, dan Dinamika Pembangunan Kota

Ketahui Paradigma, Arah, dan Dinamika Pembangunan Kota

Pembangunan kota berdasarkan paradigma baru menekankan kenyamanan, efisiensi, dan keberlanjutan. Hal ini termasuk manajemen perkotaan yang efektif, pengembangan ekonomi ramah lingkungan, dan revitalisasi kawasan kota.



Paradigma, Arah, dan Dinamika Pembangunan Kota
Apa paradigma dalam pembangunan?
Paradigma pembangunan yang diterapkan di Indonesia?
Langkah yang tepat dalam perencanaan pembangunan?
Pembangunan ekonomi yang paling optimal di Indonesia?



Paradigma Pembangunan Kota



Ketika kita berada di suatu kota, kita semua menginginkan kenyamanan. Jalanan yang halus dan tertata rapi dengan fasilitas pejalan kaki yang luas dan ramah bagi penyandang disabilitas, taman yang meramaikan jalan, serta ruang terbuka hijau yang menciptakan harmoni. Semua ini merupakan gambaran dari sebuah paradigma pembangunan kota baru yang mengutamakan kesejahteraan penduduknya. 


Pembangunan kota modern tidak hanya berkaitan dengan infrastruktur fisik dan aspek ekonomi semata, melainkan juga mencakup aspek-aspek seperti kenyamanan, efisiensi, dan keberlanjutan. Sebagai contoh, Jakarta yang mengadopsi visi "Maju Kotanya, Bahagia Warganya," telah berhasil menciptakan keindahan yang tak kalah dengan kota-kota besar dunia lainnya.


Pembangunan kota berdasarkan paradigma baru ini dapat dicapai melalui berbagai upaya, termasuk:


  • Manajemen Perkotaan yang Efektif: Mencakup optimalisasi penggunaan lahan, perlindungan zona penyangga di sekitar pusat kota, serta penegakan hukum yang tegas dan adil.
  • Pengembangan Ekonomi yang Ramah Lingkungan: Mendorong pertumbuhan sektor jasa keuangan, perbankan, asuransi, dan industri telematika yang berkelanjutan, sambil meningkatkan kemampuan keuangan daerah perkotaan.
  • Revitalisasi Kawasan Kota: Memulihkan fungsi kawasan-kawasan melalui pembangunan ulang, peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial, dan budaya, serta pengembangan sistem transportasi massal yang terintegrasi antarmoda.


Pembangunan kota dengan paradigma baru ini dikenal sebagai "kota baru" dan dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah pertumbuhan permukiman yang tak terkendali dan kemacetan di kota-kota besar. Di Indonesia, banyak kota yang telah mengadopsi konsep kota baru, seperti Balikpapan Baru, Kota Baru, dan sejumlah kota lainnya seperti Semarang, Gresik, Kendari, Manado, Batu, Yogyakarta, dan Solo, meskipun mereka mungkin tidak secara resmi disebut sebagai "kota baru."



Arah dan Dinamika Pembangunan Kota



Kota-kota berkembang secara dinamis, dipengaruhi oleh tiga faktor utama:


  • Struktur Ruang: Melibatkan tata letak jaringan jalan, penggunaan lahan, dan pengelolaan lahan.
  • Sumber Daya Potensial: Modal yang tersedia untuk menentukan arah pembangunan kota.
  • Tantangan Urbanisasi: Dampak urbanisasi berlebih, seperti pertumbuhan penduduk yang pesat, kemiskinan, ketidakstabilan keamanan, kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi, dan pengaruh globalisasi.


Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh kota-kota adalah dampak urbanisasi. Masalah ini muncul ketika kota tidak lagi mampu memberikan fasilitas dasar dan lapangan kerja yang memadai bagi penduduknya, akibat pertumbuhan penduduk yang cepat. 


Urbanisasi tidak hanya memperparah pengangguran, tetapi juga menimbulkan masalah sosial seperti kepadatan penduduk, invasi lahan, dan perkembangan pemukiman ilegal. Oleh karena itu, perlu diupayakan pembangunan perkotaan yang mampu menciptakan keseimbangan regional dan pemerataan sumber daya.


Paradigma pembangunan kota yang baru ini memandang desa dan kota sebagai sistem yang tak terpisahkan. Pengembangan desa juga menjadi bagian penting dari strategi pengembangan wilayah kota. Selain berdampak pada masalah-masalah yang telah disebutkan, urbanisasi juga memaksa kota untuk terus tumbuh dan memperbaiki fasilitas-fasilitasnya guna memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat akibat pertumbuhan urbanisasi.


Pembangunan Desa: Prinsip Pengelolaan, Dinamika, dan Arah Pembangunan

Pembangunan Desa: Prinsip Pengelolaan, Dinamika, dan Arah Pembangunan

Terdapat empat prinsip pengelolaan pembangunan desa, yakni Akuntabilitas, Transparansi, Partisipatif, dan Berkelanjutan. Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi kemajuan sebuah desa, yaitu potensi desa, Interaksi desa-kota, dan Posisi desa terhadap wilayah lain yang lebih maju.



Prinsip Pengelolaan, Dinamika, dan Arah Pembangunan Desa
Apa saja yang termasuk dalam pembangunan desa?
Strategi apa yang digunakan dalam pembangunan desa?
Apa sasaran pembangunan desa?
Faktor apa yang mempengaruhi pembangunan desa?



Prinsip Pengelolaan Pembangunan Desa



Pembangunan desa merupakan sebuah proses yang harus dilakukan dengan cermat dan holistik, sesuai dengan prinsip-prinsip yang mengatur pengelolaan pembangunan desa. Terdapat empat prinsip kunci yang harus diterapkan dalam pengelolaan pembangunan desa, yaitu:



1.Akuntabilitas


Prinsip akuntabilitas menekankan bahwa pengelolaan semua kegiatan pembangunan harus mampu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan dan penggunaan sumber daya harus dilakukan dengan transparansi dan integritas, sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang jelas mengenai bagaimana dana dan sumber daya mereka digunakan.



2. Transparansi


Prinsip transparansi menekankan perlunya menjalankan pengelolaan pembangunan desa secara terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa informasi mengenai proyek-proyek pembangunan, alokasi dana, dan kebijakan terkait tersedia untuk publik. Dengan demikian, masyarakat dapat mengawasi dan mengerti sepenuhnya proses pembangunan desa.



3. Partisipatif


Prinsip partisipatif menekankan pentingnya melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan desa. Partisipasi masyarakat tidak hanya diterima, tetapi juga dihargai. Hal ini melibatkan berbagai tahap, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan proyek, serta pemantauan dan evaluasi. Masyarakat harus memiliki peran dalam menentukan kebutuhan mereka sendiri dan harus memiliki kesempatan untuk memberikan masukan serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.



4. Berkelanjutan


Prinsip berkelanjutan menegaskan bahwa pengelolaan pembangunan desa harus mampu memberikan manfaat kepada masyarakat secara berkelanjutan. Hal ini mencakup pemikiran jangka panjang tentang dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari kebijakan dan proyek pembangunan desa. Pengelolaan yang berkelanjutan juga harus mempertimbangkan kebutuhan generasi masa depan.


Selain memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan pembangunan, implementasi pembangunan desa juga harus mempertimbangkan elemen-elemen penting yang berperan dalam meningkatkan kemajuan desa. Terdapat tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi kemajuan sebuah desa, yaitu potensi intrinsik yang dimiliki oleh desa itu sendiri, hubungan interaktif antara desa dan kota yang terdekat, serta posisi geografis desa dalam konteks wilayah yang lebih maju. 



1. Potensi desa


Desa merupakan unit penting dalam pembangunan wilayah, dan terdapat dua faktor utama yang berpengaruh besar terhadap kemajuan desa, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Desa yang memiliki sumber daya alam yang melimpah serta sumber daya manusia yang berkualitas memiliki peluang lebih besar dan lebih cepat untuk maju. Sebaliknya, desa-desa yang terbatas dalam sumber daya akan menghadapi berbagai kendala dalam upaya meningkatkan taraf kehidupan mereka. Sebagai contoh, Desa Condongcatur di Yogyakarta mengalami pertumbuhan yang pesat karena didukung oleh sumber daya alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang berkualitas.



2. Interaksi desa-kota


Interaksi antara desa dan kota adalah aspek penting dalam pembangunan wilayah. Hal ini mencakup hubungan saling menguntungkan antara desa dan kota. Interaksi yang intensif antara keduanya biasanya tercermin dalam aliran barang-barang primer dari desa ke kota dan aliran barang sekunder atau tersier dari kota ke desa. Tingkat interaksi yang tinggi berkontribusi pada perkembangan yang lebih pesat bagi desa-desa tersebut.



3. Posisi desa terhadap wilayah lain yang lebih maju


Setiap desa berada dalam konteks wilayah yang lebih besar. Keberadaan dan posisi relatif desa dalam hubungan dengan desa-desa lainnya sangat penting dalam mendorong kemajuan. Posisi geografis desa terhadap desa-desa tetangga dapat mempengaruhi aksesibilitas dan peluang untuk mencapai kemajuan yang lebih besar. Oleh karena itu, praktik pembangunan wilayah tidak dapat di universalkan secara seragam antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, karena perbedaan dalam potensi alam, posisi geografis, dan interaksi antara wilayah-wilayah tersebut memainkan peran penting dalam penentuan strategi pembangunan yang tepat.



Dinamika dan Arah Pembangunan Desa


Pembangunan wilayah pedesaan memegang peran sentral dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Signifikansi pembangunan pedesaan terdokumentasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, sebuah dokumen strategis yang menjadi panduan resmi bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam pelaksanaan pembangunan.


Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk tingkat desa dilakukan dengan mempertimbangkan orientasi kebijakan pembangunan di tingkat kabupaten/kota, sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa PDTT No. 21 Tahun 2020).


Berikut ini adalah arah kebijakan pembangunan pedesaan yang sejalan dengan arah kebijakan pembangunan kota:


  1. Pemenuhan standar pelayanan minimum di pedesaan, termasuk permukiman transmigrasi, yang sesuai dengan karakteristik geografis desa setempat.
  2. Upaya penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan, termasuk di wilayah transmigrasi.
  3. Fokus pada pembangunan sumber daya manusia, peningkatan kapasitas, serta pembentukan modal sosial dan budaya masyarakat pedesaan, termasuk di wilayah transmigrasi.
  4. Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Desa dengan cara yang terorganisir, konsisten, dan berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan pendampingan.
  5. Pengembangan kapasitas dan pendampingan berkelanjutan bagi aparat pemerintah desa dan lembaga-lembaga pemerintahan setempat.
  6. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan, serta perencanaan ruang di wilayah pedesaan, termasuk wilayah transmigrasi.
  7. 7. Stimulasi perkembangan ekonomi di wilayah pedesaan dan wilayah transmigrasi guna mendorong keterkaitan antara pedesaan dan perkotaan.

Klasifikasi Desa: Swadaya, Swakarya, dan Swasembada

Klasifikasi Desa: Swadaya, Swakarya, dan Swasembada

Indonesia memiliki desa yang jumlahnya sangat besar. Secara nasional, terdapat 74.961 desa dengan berbagai kondisi yang beragam. Ada desa swadaya, swakarya, dan swasembada. Selain itu, terdapat pula desa mandiri, berkembang, dan tertinggal. Oleh karena itu, perlu dilakukan klasifikasi agar pengembangan dapat dilakukan secara lebih optimal. 



Desa Swadaya, Swakarya, dan Swasembada
Apa saja Jenis-Jenis Desa?
Apa itu Desa Swadaya, Swakarya, dan Swasembada?
Apa itu Desa Mandiri, Berkembang, dan Tertinggal?


Berdasarkan Tingkat Kemajuan



Berdasarkan tingkat kemajuannya, ada tiga jenis desa, yaitu desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal. Ketiga jenis desa tersebut diuraikan sebagai berikut.



1. Desa Mandiri



Desa Mandiri atau yang juga dikenal sebagai Desa Sembada, adalah desa yang telah mencapai tingkat kemajuan yang tinggi dalam melaksanakan pembangunan demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Ciri khas dari desa ini meliputi:


  1. Ketersediaan dan akses yang memadai terhadap layanan dasar.
  2. Infrastruktur yang baik dan aksesibilitas yang mudah.
  3. Pelayanan umum yang berkualitas serta pemerintahan yang efisien.


Desa Mandiri dapat diidentifikasi berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) yang mencapai angka di atas 0,8155. Pertumbuhan jumlah desa mandiri mengindikasikan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, terjadi peningkatan jumlah desa mandiri sebanyak 174 desa. Pada awalnya, pada tahun 2015, terdapat 6.064 desa mandiri, dan angka ini meningkat menjadi 6.238 desa pada tahun 2022. 


Beberapa contoh desa yang masuk dalam kategori mandiri antara lain Desa Julubori (Kabupaten Gowa), Desa Lanci Jaya (Kabupaten Dompu), Desa Bululawang (Kabupaten Malang), Desa Reksosari (Kabupaten Semarang), dan Desa Melung (Kabupaten Banyumas).



2. Desa Berkembang



Desa berkembang atau yang juga dikenal sebagai desa madya, adalah desa dengan potensi besar untuk menjadi desa maju di masa depan. Desa ini memiliki sumber daya yang cukup memadai, seperti akses yang baik ke layanan dasar, infrastruktur yang berkembang, transportasi yang mudah dijangkau, pelayanan umum yang memadai, dan pemerintahan yang baik. Namun, desa tersebut belum mampu mengelola potensi yang dimilikinya secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.


Desa berkembang dapat diidentifikasi dengan Indeks Desa Madya (IDM) yang memiliki nilai antara 0,5989 hingga 0,7072. Hingga tahun 2022, Indonesia memiliki sebanyak 33.878 desa berkembang. Beberapa contoh desa berkembang di Indonesia antara lain Desa Pesanggrahan (Kabupaten Mojokerto), Desa Rejoso Kidul (Kabupaten Pasuruan), Desa Kedung (Kabupaten Tangerang), dan Desa Langkura (Kabupaten Jeneponto).



3. Desa Tertinggal



Desa tertinggal yang juga dikenal sebagai desa pramadya, merujuk pada desa-desa yang memiliki potensi sumber daya seperti layanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas/transportasi, layanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan, namun belum atau kurang mampu mengelolanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia. 


Desa tertinggal dapat diidentifikasi dengan Indeks Desa Membangun (IDM) yang berada dalam rentang ≤ 0,5989 dan > 0,4907. Pada tahun 2022, terdapat total 9.202 desa tertinggal di Indonesia. Beberapa contoh desa tertinggal tersebut mencakup Desa Leuwibalang (Kabupaten Pandeglang), Desa Dolok Raja (Kabupaten Samosir), Desa Iwoikondo (Kabupaten Kolaka Timur), Desa Warambe (Kabupaten Muna), dan Desa Jareng (Kabupaten Pidie). 


Menurut pengukuran Indeks Pembangunan Desa (IPD) di Indonesia, mayoritas desa berada dalam kategori desa berkembang, mencapai 73,40%, diikuti oleh desa tertinggal sebanyak 19,17%, dan desa mandiri sebanyak 7,43%.



Berdasarkan Tingkat Pembangunan



Selain dikelompokkan berdasarkan tingkat kemajuannya, desa juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat pembangunan dan potensi yang dimiliki wilayahnya untuk dikembangkan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, desa dapat dibagi menjadi tiga kategori: desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada.



1. Desa Swadaya



Desa Swadaya adalah desa yang sebagian besar masyarakatnya memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri. Biasanya, desa ini terletak di daerah terpencil dan memiliki interaksi yang kurang dengan masyarakat di luar desa mereka. Proses kemajuan di desa ini sangat lambat bahkan mungkin sama sekali tidak ada. 


Salah satu contoh desa yang masuk dalam kategori Swadaya adalah Desa Kanekes, yang terletak di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa ini dihuni oleh suku Badui, sebuah suku yang memiliki budaya dan tradisi yang sangat unik.


Pada kenyataannya, Suku Badui sangat berusaha untuk tidak terpengaruh oleh budaya luar guna menjaga keaslian tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan mereka. Hal ini terlihat dalam pendekatan mereka terhadap teknologi modern seperti penggunaan handphone, televisi, penerangan listrik, dan sebagainya. 


Suku Badui mempercayai bahwa peran mereka adalah untuk menjaga keseimbangan alam, dan mereka merasa bahwa mereka diciptakan untuk menjaga tanah suci (taneuh titipan) yang dianggap sebagai pusat bumi. Pemikiran ini tercermin dalam aktivitas mereka yang berfokus pada pelestarian lingkungan, seperti menjaga kebersihan sungai dan menjaga kelestarian hutan.



2. Desa Swakarya



Desa Swakarya adalah desa yang telah mencapai tingkat perkembangan yang lebih maju dibandingkan dengan desa swadaya. Masyarakatnya telah mampu menjual hasil produksi yang berlebih ke daerah lain. Meskipun interaksi di desa ini sudah mulai terlihat, namun untuk frekuensi dan intensitasnya masih jarang. Salah satu contohnya adalah Desa Kemiren di Kabupaten Banyuwangi.


Penduduk Desa Kemiren merupakan kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat dan budaya yang dikenal sebagai Suku Osing. Pemerintah telah menetapkannya sebagai cagar budaya dan mengembangkannya menjadi Desa Wisata Suku Osing. Desa Wisata Osing ini menyediakan fasilitas utama, seperti gedung kesenian sebagai objek pelestarian kebudayaan, serta fasilitas penunjang seperti penginapan dan kolam renang.



3. Desa Swasembada



Desa swasembada adalah desa yang telah berhasil mengembangkan semua potensinya secara optimal. Ciri khasnya adalah masyarakatnya mampu untuk berinteraksi dengan masyarakat di luar desa, melakukan perdagangan dengan wilayah lain, dan memiliki kemampuan untuk saling memengaruhi dengan penduduk di daerah sekitarnya. Melalui interaksi ini, masyarakat dapat mengadopsi teknologi baru untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dan memajukan proses pembangunan. 


Salah satu contoh desa swasembada adalah Desa Wonoayu, yang terletak di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Desa ini menjadi penopang utama kebutuhan daging sapi secara nasional, dengan sekitar 87% penduduknya menggantungkan hidup dari usaha peternakan sapi. Pada beberapa bulan tertentu, pemilik sapi di Desa Wonoayu bahkan mengadakan inseminasi buatan sapi secara massal.



Bagaimana dengan desa kalian sobat? Dari klasifikasi perkembangan desa di atas, desa sobat termasuk dalam kategori mana?. Hierarki perkembangan desa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung kemajuan desa, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan kelembagaan desa. Ketiga faktor ini merupakan modal penting dalam pembangunan desa. 


Dengan demikian, jika desa sobat memiliki sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang berkualitas, dan kelembagaan desa yang kuat, maka desa sobat memiliki potensi untuk berkembang dengan cepat.