4 Teori Struktur Kota: Konsentris, Sektoral, Inti Ganda, dan Ketinggian Bangunan
Kelas 12Kota adalah daerah pemusatan penduduk dengan mayoritas bekerja di luar sektor pertanian, serta hubungan yang rasional, ekonomis, dan individualistis. Kota memiliki empat jenis pola perkembangan yakni, pola sentralisasi, desentralisasi, nukleasi, dan segregasi. Terdapat empat teori terkait struktur kota, yakni Teori Konsentris, Teori Sektoral, Teori Inti Ganda, dan Teori Ketinggian Bangunan.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan struktur kota? Sebutkan 4 pola keruangan kota apa saja? Apa yang dimaksud dengan pola keruangan kota? Bagaimana pola kota menurut teori konsentris? |
Pengertian Kota
Pengertian kota yang umumnya digunakan di Indonesia adalah suatu tempat di mana penduduk berkumpul dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah sekitarnya, karena terjadi pemusatan kegiatan yang terkait dengan aktivitas atau kehidupan penduduknya.
Dalam perumusan lain yang sering digunakan di Indonesia, seperti yang disebutkan dalam Modul Perencanaan Kota yang diterbitkan oleh UT, kota didefinisikan sebagai wilayah permukiman dengan jumlah penduduk yang relatif besar, tetapi memiliki luas wilayah terbatas. Wilayah ini biasanya tidak bersifat pertanian, memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, dan menjadi tempat tinggal bagi sekelompok orang dalam kawasan geografis tertentu yang cenderung memiliki pola hubungan yang rasional, ekonomis, dan individualistis.
Menurut Kamus Pengembangan Wilayah yang diterbitkan oleh Kementerian PUPR pada tahun 2016, pengertian kota adalah daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi dan fasilitas modern. Mayoritas penduduknya bekerja di luar sektor pertanian, dan wilayah ini cenderung memiliki pola hubungan yang rasional, ekonomis, dan individualistis.
Sumber yang sama juga mendefinisikan istilah "perkotaan" sebagai wilayah yang memiliki aktivitas utama bukan pertanian, dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal, pemusatan dan distribusi pelayanan pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi.
Selama ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli mengenai definisi "kota" (city) dan "perkotaan" (urban). Kedua istilah ini sering dibandingkan dengan "desa" (village) dan "pedesaan" (rural).
Menurut Muhammad Nuh dan Suhartono Winoto dalam buku "Kebijakan Pembangunan Perkotaan" (2017:7), rumusan pengertian kota dapat dibagi menjadi dua kelompok:
Pertama, kota dilihat dari definisi umum sebagai daerah terbangun yang didominasi oleh penggunaan lahan untuk kegiatan non-pertanian, dengan jumlah penduduk yang tinggi dan intensitas pemakaian tanah yang tinggi. Definisi ini menekankan bahwa kota berfungsi sebagai tempat bagi kegiatan non-pertanian, tempat tinggal banyak penduduk, serta pusat aktivitas ekonomi dan pelayanan jasa.
Kedua, definisi kota dikaitkan secara khusus dengan administrasi pemerintahan. Dalam konteks ini, kota dimaknai sebagai bentuk pemerintahan daerah di mana mayoritas wilayahnya merupakan kawasan perkotaan.
Definisi pertama lebih umum digunakan dalam studi geografi dan perencanaan kota karena lebih jelas dalam membedakan wilayah mana yang dapat disebut sebagai kota dan yang bukan, atau sebagai desa.
Kota menjadi objek kajian penting dalam ilmu geografi karena wilayah perkotaan dapat berkembang dengan cepat dan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan banyak penduduk yang tinggal di dalamnya. Salah satu aspek yang dipelajari dalam geografi adalah pola keruangan kota.
Pola Keruangan Kota
Kota pada umumnya bukanlah wilayah yang benar-benar sudah menjadi kawasan perkotaan sejak awal dibangun. Biasanya, wilayah kota semula berupa kawasan perdesaan yang kemudian berkembang secara bertahap menjadi makin ramai, padat penduduk dan tambah lengkap fasilitasnya, serta akhirnya berubah menjadi perkotaan.
Merujuk publikasi LPPM UNY (2012) bertajuk "Pola Keruangan Desa dan Kota," keberadaan berbagai fasilitas dan beragam aktivitas di perkotaan kemudian membentuk struktur ruang kota yang khas. Struktur ruang kota itu berbeda dari yang ada di desa, dan juga bisa berbeda antar-kota.
Struktur ruang kota merujuk pada semua elemen di sebuah kota, termasuk bentang alam (seperti bukit, gunung, sungai, dan lain-lain) maupun bangunan buatan manusia (seperti gedung, permukiman, fasilitas industri, dan sarana transportasi) di permukaan bumi.
Struktur ruang kota biasanya memiliki bentuk dan pola tertentu sesuai dengan perkembangan masing-masing kawasan perkotaan. Sebagai contoh, di Pulau Jawa, kota-kota biasanya memiliki pusat yang terdiri dari alun-alun, masjid agung, kantor pemerintahan, pusat pertokoan, pasar besar, dan rumah sakit. Hal ini tentu berbeda dengan negara-negara lain atau sebagian kota di luar Jawa.
Pola keruangan kota juga dapat mencerminkan skema perkembangan wilayahnya. Menurut modul Geografi XII KD 3.2 dan 4.2 (2020) dari Kemdikbud, terdapat setidaknya empat pola perkembangan ruang kota yang sering terjadi.
Keempat pola perkembangan ruang kota tersebut adalah sebagai berikut:
- Pola sentralisasi, yang terjadi ketika kegiatan di kota cenderung berkumpul di satu wilayah utama.
- Pola desentralisasi, yang terjadi ketika kegiatan di kota cenderung menjauhi pusat atau inti wilayah utama.
- Pola nukleasi, yang menyerupai pola sentralisasi, tetapi dalam skala yang lebih kecil. Dalam pola nukleasi, inti kegiatan kota masih berada di wilayah utama.
- Pola segregasi, yang ditandai dengan sebaran kegiatan kota yang terpisah berdasarkan situasi sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain.
Struktur keruangan kota juga bisa dianalisis dengan berbagai teori atau pendekatan, termasuk teori konsentris, teori inti ganda, teori sektoral, dan teori ketinggian bangunan. Berikut adalah penjelasannya.
Teori Struktur Keruangan Kota
1. Teori Konsentris (Ernest W. Burgess)
Teori konsentris dikembangkan oleh Ernest Watson Burgess (1886-1966), seorang sosiolog dari Amerika Serikat yang mendalami juga perkembangan kota. Teori konsentris ini muncul dari studi yang dilakukan oleh Burgess terhadap ruang kota Chicago, AS.
Dalam teori konsentris, kawasan kota berkembang dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang bersifat konsentris. Menurut Burgess, sebuah kota akan berkembang membentuk lima zona konsentris, dan setiap zona yang muncul akan mencerminkan pola penggunaan lahan tertentu.
Adapun perincian 5 zona kota menurut teori konsentris adalah sebagai berikut:
a. Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District)
Zona ini adalah pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Oleh karena itu, zona ini memiliki banyak fasilitas utama untuk kegiatan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Jaringan transportasi kota juga berpusat di zona ini, yang mengakibatkan zona pusat kegiatan memiliki aksesibilitas yang tinggi.
Biasanya, di zona pusat kegiatan terdapat gedung-gedung pemerintahan, pusat perbelanjaan besar, bangunan perkantoran yang tinggi (gedung pencakar langit), bank, hotel, restoran, stasiun, dan lain-lain.
b. Zona Peralihan (Transition Zone)
Zona ini banyak dihuni oleh golongan penduduk berpenghasilan rendah dan migran yang baru datang atau belum lama melakukan urbanisasi dari desa. Oleh karena itu, zona ini berkembang menjadi kawasan padat penduduk.
Aktivitas perdagangan dan industri di Zona Pusat Kegiatan yang terus meningkat mendorong permukiman murah bergeser ke zona kedua ini. Zona ini juga mengalami penurunan kualitas lingkungan permukiman yang terus-menerus. Karena itu, di zona kedua ini, sering muncul daerah permukiman kumuh (slums area), dan banyak penduduknya yang miskin.
c. Zona Kelas Rendah (Zone of Low Status)
Perumahan di zona ketiga ini umumnya lebih baik dan sudah teratur. Mayoritas penghuni zona ketiga adalah bekas penghuni zona kedua yang bekerja sebagai pekerja pabrik, karyawan, dan sejenisnya.
Keberadaan permukiman pekerja berpenghasilan rendah di zona ketiga ini ditandai dengan banyaknya rumah kecil maupun rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Kondisi permukiman di zona ketiga lebih baik dibandingkan dengan zona kedua, meskipun mayoritas penduduknya berada dalam kategori menengah ke bawah.
d. Zona Kelas Menengah (Zone of Middle Status)
Kawasan ini dihuni oleh kelas menengah yang terdiri dari pekerja profesional, pemilik usaha, pengusaha, pegawai dengan penghasilan menengah ke atas, dan sejenisnya. Perumahan penduduk di zona ini berupa rumah pribadi yang cukup besar dan tertata rapi. Biasanya, terdapat pusat perbelanjaan kecil untuk memenuhi kebutuhan warga yang ada di zona keempat ini.
Mengingat status ekonomi penduduknya sudah menengah-atas, kompleks perumahan di zona keempat ini sudah dibangun dengan perencanaan yang baik, teratur, nyaman, dan fasilitas yang memadai.
e. Zona Kelas Tinggi (Zone of High Status)
Zona kelima ini berupa kawasan yang sudah memasuki daerah belakang kota (hinterland) atau batas desa-kota. Penduduk yang bekerja di kota tetapi tinggal di pinggiran kota merupakan penghuni zona ini.
Zona kelima ini merupakan bagian terluar dari kota dan merupakan kawasan perumahan mewah. Lapisan ini hanya ditempati oleh mereka yang memiliki kendaraan pribadi sehingga dapat pulang-pergi ke tempat kerja di pusat kota. Zona ini berkembang sebagai kawasan yang memicu tumbuhnya kota-kota satelit.
2. Teori Inti Ganda (Harris-Ullman)
Teori inti ganda dikembangkan pertama kali oleh C.D. Harris dan F.L. Ullmann (1945). Mereka beranggapan bahwa struktur ruang kota tidak tumbuh dalam ekspresi keruangan yang memiliki satu pusat kegiatan. Sebaliknya, struktur ini terbentuk secara terus-menerus sehingga muncul beberapa pusat kegiatan baru di kota yang saling terpisah.
Menurut teori inti ganda, struktur ruang kota tidak memiliki urutan yang teratur, berbeda dengan teori konsentris yang menganggap struktur ruang kota sudah tertata rapi. Teori inti ganda menganggap sangat mungkin tercipta beberapa titik pusat pertumbuhan baru di suatu kota.
Maka itu, teori inti ganda menganggap ada beberapa inti kota dalam suatu wilayah perkotaan, misalnya kompleks pusat pemerintahan, pelabuhan, kompleks kegiatan ekonomi (pasar dan mal), dan lain-lain, yang muncul tidak di satu area yang tergabung.
Struktur ruang kota menurut teori inti ganda adalah sebagai berikut:
- Pusat Kota atau CBD
- Kawasan Niaga dan Industri Ringan
- Kawasan Murbawisma atau Permukiman Kualitas Rendah
- Kawasan Madyawisma atau Permukiman Kualitas Sedang
- Kawasan Adiwisma atau Tempat Tinggal Kualitas Tinggi
- Pusat Industri Berat
- Pusat Niaga atau Perbelanjaan Lain di Pinggir Kota
- Upakota (Sub-urban) untuk Kawasan Madyawisma dan Adiwisma
- Upakota (Sub-urban) untuk Kawasan Industri.
3. Teori Sektoral (Homer Hoyt)
Teori sektoral atau sektoral dikemukakan oleh Homer Hoyt, seorang ahli ekonomi dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai perintis kajian perencanaan, penggunaan lahan, serta zonasi ekonomi.
Menurut teori sektoral, struktur ruang kota berkembang karena adanya sektor-sektor yang membentuk sejumlah lingkaran konsentris. CBD atau pusat ekonomi masih berada di pusat kota, tetapi bagian-bagian lainnya berkembang menurut sektor-sektor yang berbentuk seperti irisan kue tart.
Perkembangan seperti ini dapat terjadi karena ada pengaruh faktor geografis alami maupun buatan, seperti bentuk lahan, pengembangan jalan, serta penyediaan sarana komunikasi dan transportasi. Teori sektoral membagi wilayah kota menjadi lima bagian, yaitu sebagai berikut:
- Daerah Pusat Kota atau CBD, terdiri atas pusat ekonomi, sosial, pemerintahan, dan budaya.
- Zona Wholesale Light Manufacturing yang terdiri atas industri kecil dan perdagangan.
- Zona Permukiman Kelas Rendah yang menjadi tempat tinggal pekerja industri di kota dengan penghasilan kecil.
- Zona Permukiman Kelas Menengah yang ditinggali oleh penduduk kota dengan penghasilan tinggi.
- Zona Permukiman Kelas Tinggi, yaitu permukiman golongan kelas atas di kota.
4. Teori Ketinggian Bangunan (Bergell)
Teori ketinggian bangunan dikembangkan oleh Bergell (1955). Bergell berpendapat bahwa ketinggian bangunan di wilayah kota perlu diperhatikan untuk menganalisis struktur keruangannya.
Variabel ketinggian bangunan perlu menjadi perhatian di kota-kota negara maju, karena berkaitan dengan hak setiap warga kota untuk mendapatkan kehidupan yang nyaman.
Teori ini berkaitan dengan pengaturan ketinggian bangunan dalam hubungannya dengan penggunaan lahan. Hal ini berguna untuk mencegah kesemrawutan dalam tata ruang kota.