Apa Teori, Tujuan serta Prinsip Pengembangan Wilayah?
Pengembangan wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di suatu area geografis tertentu.Terdapat beberapa prinsip penting seperti keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan, yang menjadi landasan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu teori pengembangan wilayah yang relevan adalah teori agropolitan, yang menekankan penggabungan antara sektor pertanian dan industri untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, dan meminimalkan disparitas antara wilayah pedesaan dan perkotaan.
Apa tujuan dari pengembangan wilayah? Apa saja teori pengembangan wilayah? Tiga pilar pengembangan wilayah? |
Tujuan Pengembangan Wilayah
Terdapat beberapa tujuan pengembangan wilayah yang harus dipertimbangkan agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai, yaitu sebagai berikut:
1.Mewujudkan Pemerataan Pertumbuhan Wilayah
Tujuan dari pemerataan pertumbuhan wilayah adalah untuk mengurangi disparitas dan mengurangi jumlah daerah yang tertinggal akibat ketidakmerataan pembangunan. Hal ini merupakan fokus utama dalam pengembangan wilayah, yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan wilayah secara menyeluruh demi mencapai kesejahteraan masyarakat.
2.Menjaga Stabilitas Ekonomi Nasional
Stabilitas ekonomi nasional didefinisikan sebagai kondisi ekonomi negara yang kondusif dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Kondisi ekonomi yang kondusif ini dikaitkan dengan stabilitas harga barang dan jasa, peningkatan daya beli masyarakat, serta pertumbuhan pendapatan nasional yang berkelanjutan. Stabilitas ekonomi menjadi salah satu prioritas utama dalam pengembangan wilayah karena berhubungan erat dengan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat.
3.Mendorong Pertumbuhan Wilayah yang Efisien
Pertumbuhan wilayah yang efisien dipengaruhi oleh infrastruktur dan fasilitas yang memadai untuk masyarakat. Infrastruktur ini secara bersamaan meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mendorong aktivitas yang tinggi di wilayah tersebut. Oleh karena itu, pertumbuhan wilayah tidak hanya terbatas pada satu wilayah saja, tetapi juga dapat merangsang pertumbuhan wilayah lain di sekitarnya.
Prinsip Pengembangan Wilayah
Implementasi pengembangan wilayah didasarkan pada beberapa prinsip. Terdapat empat prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan wilayah, yakni:
- Pengembangan wilayah tidak hanya berfokus pada pembangunan internal wilayah tertentu, tetapi juga bertujuan untuk mendorong perkembangan wilayah di sekitarnya.
- Keberhasilan pengembangan wilayah sangat bergantung pada kerja sama lintas sektoral dan kolaborasi antarwilayah.
- Pola pengembangan wilayah harus bersifat integral, dengan mengintegrasikan berbagai daerah yang termasuk dalam wilayah pembangunan.
- Dalam pengembangan wilayah, penting untuk mempertimbangkan mekanisme pasar dan kondisi ekonomi sebagai prasyarat dalam perencanaan pembangunan.
Teori Pengembangan Wilayah
Teori-teori dalam pengembangan wilayah berfokus pada tiga pilar utama, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar ini merupakan elemen esensial yang mendukung pencapaian pengembangan wilayah yang optimal, dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan alam.
Tiga teori pengembangan wilayah yang perlu dipahami meliputi teori kutub pertumbuhan, teori lokasi, dan teori agropolitan. Berikut adalah uraian singkat tentang ketiga teori tersebut.
1. Teori Kutub Pertumbuhan
Teori Kutub Pertumbuhan (The Growth Pole Theory) pertama kali dikemukakan oleh Francois Perroux pada tahun 1955, menyatakan bahwa pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tidak merata di seluruh wilayah, melainkan terfokus pada beberapa lokasi tertentu yang disebut sebagai "kutub pertumbuhan." Lokasi ini menjadi pusat aktivitas ekonomi yang padat, dengan harapan akan memberikan dampak positif pada wilayah sekitarnya, yang dikenal sebagai efek penjalaran (spread).
Percepatan aktivitas ekonomi di kutub pertumbuhan juga memicu aliran investasi ke wilayah-wilayah di bawahnya yang memiliki hierarki ekonomi yang lebih rendah. Fenomena ini dikenal dengan istilah "trickling down effect." Selain itu, dalam teori kutub pertumbuhan juga dikenal istilah “backwash”, yang terjadi ketika kemajuan ekonomi di wilayah kutub pertumbuhan menyerap sumber daya tenaga kerja dan modal ekonomi dari wilayah lain, sehingga menghambat pertumbuhan wilayah di sekitarnya. Wilayah yang terkena efek ini kemudian mengalami kemunduran dan disebut "daerah peri-peri."
Lokasi kutub pertumbuhan dalam teori ini mengacu pada daerah yang memiliki industri-industri utama dan berfungsi sebagai pusat berbagai aktivitas ekonomi yang dapat mendorong perkembangan industri lain di sekitarnya. Karakteristik utama wilayah yang cocok sebagai kutub pertumbuhan adalah sebagai berikut:
a) Memiliki berbagai sektor ekonomi yang saling terkait dan beragam. Wilayah pertumbuhan yang ideal harus menampilkan aktivitas ekonomi yang heterogen dan berhubungan satu sama lain. Keterkaitan ekonomi ini akan menghidupkan perekonomian dan mendorong kemajuan wilayah secara menyeluruh.
b) Terdapat sektor-sektor yang saling mendukung, menciptakan “multiplier effect” yang merata dalam kehidupan masyarakat.
c) Terdapat konsentrasi geografis dalam wilayah tersebut, yang mencakup beragam sumber daya alam dan sumber daya manusia. Konsentrasi ini menjadi modal awal untuk aktivitas ekonomi seperti pertukaran barang dan jasa.
d) Wilayah pusat pertumbuhan harus mendorong perkembangan wilayah-wilayah penyangga di sekitarnya, karena wilayah penyangga berperan dalam menyediakan bahan baku bagi kegiatan ekonomi di wilayah pusat. Pertumbuhan wilayah penyangga akan menentukan kemajuan ekonomi wilayah pusat.
Implementasi teori kutub pertumbuhan dalam pembangunan nasional tercermin dalam kebijakan pemerintah Indonesia yang membagi negara ini menjadi empat pusat pertumbuhan regional: Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Setiap pusat pertumbuhan ini kemudian dibagi lagi menjadi beberapa wilayah pembangunan. Lebih jauh, penggolongan wilayah pusat pertumbuhan di Indonesia dapat dilihat dalam tabel berikut.
Wilayah Pusat Pertumbuhan dan Wilayah Pembangunan di Indonesia |
2. Teori Lokasi
Teori lokasi merupakan salah satu dasar penting dalam merencanakan pembangunan berbasis wilayah. Prinsip-prinsip dasar dalam teori ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan lokasi kegiatan ekonomi sehingga wilayah tersebut dapat memberikan manfaat dan nilai tambah yang optimal.
Beberapa teori fundamental yang berkembang dalam teori lokasi meliputi teori klasik (teori sewa tanah), teori lokasi optimum, dan teori lokasi sentral.
A. Teori Klasik (Teori Sewa Tanah)
Konsep teori ini pertama kali diperkenalkan oleh J.H. von Thunen pada tahun 1982. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa nilai sewa lahan pertanian ditentukan oleh jaraknya dari pusat kota atau pasar. Von Thunen berpendapat bahwa semakin jauh lahan pertanian dari pusat kota, semakin rendah nilai sewanya.
Asumsi ini didasarkan pada perbedaan manfaat biaya transportasi dari lokasi lahan yang berdekatan atau jauh dari pusat kota. Semakin besar jarak lahan pertanian dari pusat kota, semakin tinggi biaya transportasinya, dan sebagai akibatnya, harga jual produk pertanian akan lebih tinggi. Sebaliknya, jika lahan pertanian berdekatan dengan pusat kota, biaya transportasi akan lebih rendah, dan harga jual produk akan lebih terjangkau.
Gagasan dalam teori sewa tanah ini mencakup:
- Lahan pertanian yang jauh dari pusat kota memaksa petani untuk menjual hasil panennya dengan jarak yang cukup jauh.
- Nilai sewa lahan pertanian bervariasi berdasarkan jaraknya dari pusat kota.
- Produsen tersebar di wilayah luas, sementara konsumen berkumpul di pusat kota atau pasar.
Ketiga konsep ini penting dalam perencanaan wilayah, terutama dalam menentukan lokasi kegiatan ekonomi. Untuk memahami teori lokasi klasik lebih baik, mari kita lihat ilustrasinya.
Teori Lokasi Von Thunen |
B. Teori Lokasi Optimum
Alfred Weber memperkenalkan teori lokasi optimum pada tahun 1909. Teori ini berfokus pada prinsip biaya minimum dalam menentukan lokasi industri yang menguntungkan. Weber menyatakan bahwa lokasi industri yang optimal adalah di wilayah dengan biaya transportasi dan tenaga kerja paling rendah. Faktor-faktor kunci dalam teori ini adalah transportasi, upah tenaga kerja, dan aglomerasi industri.
Teori ini memberikan kebebasan bagi pelaku industri untuk menentukan lokasi optimal mereka. Namun, Weber mengembangkan tiga skema analisis berdasarkan dua faktor utama: indeks material dan berat lokasional. Indeks material mengukur perbandingan berat bahan baku dan produk akhir yang akan dipasarkan. Berat lokasional mencakup berat total yang harus diangkut dari tempat produksi, termasuk bahan baku, bahan bakar, hingga produk akhir.
Gambar A: Jika produk akhir lebih berat daripada bahan baku awal, lokasi optimum cenderung dekat dengan pasar.
Gambar B: Jika produk akhir lebih ringan daripada bahan baku awal, lokasi industri cenderung dekat dengan bahan baku.
Gambar C: Jika perbandingan berat produk awal dan akhir tidak berubah signifikan, lokasi optimum berada di antara bahan baku dan pasar.
Skema Penentuan Lokasi Optimum |
- Skema A mengindikasikan indeks material kurang dari 1, yang berarti produk akhir lebih berat daripada bahan baku. Oleh karena itu, lokasi optimum harus dekat dengan pasar untuk meminimalkan biaya transportasi.
- Skema B mengindikasikan indeks material lebih dari 1, yang mengharuskan lokasi industri dekat dengan bahan baku.
- Skema C menggambarkan situasi di mana berat produk awal dan akhir hampir sama, sehingga lokasi optimum berada di tengah-tengah.
Selain meminimalkan biaya, penentuan lokasi industri berdasarkan skema ini juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi distribusi dan mengurangi ketidaknyamanan dalam pengangkutan material yang berat.
C. Teori Lokasi Sentral
Teori ini dikembangkan oleh Walter Christaller pada tahun 1933 dan membahas model hierarki perkotaan dalam sistem geometri berbentuk heksagonal. Teori ini membantu menentukan lokasi ideal untuk pusat-pusat pelayanan berdasarkan tingkat wilayahnya.
Dalam teori ini, ada dua variabel kunci yang mempengaruhi penentuan lokasi pusat pelayanan, yaitu threshold (nilai minimum yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas produksi) dan range (jarak maksimum yang harus ditempuh oleh penduduk untuk mendapatkan barang/jasa di lokasi sentral). Lokasi sentral terbentuk melalui interaksi antarwilayah perdagangan yang digambarkan dalam lingkaran yang tumpang tindih dan menciptakan bidang heksagonal yang lebih luas.
Teori lokasi sentral menjelaskan pola geografis dan struktur hierarki pusat kota yang saling terkait dalam sistem fungsional. Beberapa asumsi dasar dalam teori ini meliputi topografi wilayah yang datar, mobilitas dalam semua arah, penyebaran penduduk dan daya beli yang merata, serta preferensi pembeli terhadap jarak minimum.
3. Teori Agropolitan
Teori agropolitan adalah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan meratakan pembangunan. Secara etimologis, istilah agropolitan berasal dari gabungan kata "agro," yang merujuk kepada pertanian, dan "polis," yang mengacu kepada kota. Oleh karena itu, agropolitan dapat diartikan sebagai pengembangan wilayah yang menggabungkan kegiatan ekonomi pertanian di pedesaan dengan sektor industri.
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Friedman dan Douglass pada tahun 1978, berawal dari pemikiran Myrdal yang menekankan pentingnya penyebaran fasilitas secara merata untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara wilayah desa dan kota. Konsep dasar dalam paradigma ini menitikberatkan pada penyediaan fasilitas yang setara dengan kota untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Fasilitas ini dapat mencakup dukungan ekonomi, kegiatan sosial dan budaya, serta layanan sehari-hari. Keberadaan pusat pelayanan semacam ini memberikan manfaat besar bagi petani karena membantu mengurangi biaya produksi dan biaya pemasaran mereka.
Sekian pembahasan kali ini tentang Teori, Tujuan serta Prinsip Pengembangan Wilayah. Semoga bermanfaat.
Salam hangat geograf muda.