Klasifikasi Desa: Swadaya, Swakarya, dan Swasembada

Klasifikasi Desa: Swadaya, Swakarya, dan Swasembada

Klasifikasi Desa: Swadaya, Swakarya, dan Swasembada
03 Maret 2023

Indonesia memiliki desa yang jumlahnya sangat besar. Secara nasional, terdapat 74.961 desa dengan berbagai kondisi yang beragam. Ada desa swadaya, swakarya, dan swasembada. Selain itu, terdapat pula desa mandiri, berkembang, dan tertinggal. Oleh karena itu, perlu dilakukan klasifikasi agar pengembangan dapat dilakukan secara lebih optimal. 



Desa Swadaya, Swakarya, dan Swasembada
Apa saja Jenis-Jenis Desa?
Apa itu Desa Swadaya, Swakarya, dan Swasembada?
Apa itu Desa Mandiri, Berkembang, dan Tertinggal?


Berdasarkan Tingkat Kemajuan



Berdasarkan tingkat kemajuannya, ada tiga jenis desa, yaitu desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal. Ketiga jenis desa tersebut diuraikan sebagai berikut.



1. Desa Mandiri



Desa Mandiri atau yang juga dikenal sebagai Desa Sembada, adalah desa yang telah mencapai tingkat kemajuan yang tinggi dalam melaksanakan pembangunan demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Ciri khas dari desa ini meliputi:


  1. Ketersediaan dan akses yang memadai terhadap layanan dasar.
  2. Infrastruktur yang baik dan aksesibilitas yang mudah.
  3. Pelayanan umum yang berkualitas serta pemerintahan yang efisien.


Desa Mandiri dapat diidentifikasi berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) yang mencapai angka di atas 0,8155. Pertumbuhan jumlah desa mandiri mengindikasikan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, terjadi peningkatan jumlah desa mandiri sebanyak 174 desa. Pada awalnya, pada tahun 2015, terdapat 6.064 desa mandiri, dan angka ini meningkat menjadi 6.238 desa pada tahun 2022. 


Beberapa contoh desa yang masuk dalam kategori mandiri antara lain Desa Julubori (Kabupaten Gowa), Desa Lanci Jaya (Kabupaten Dompu), Desa Bululawang (Kabupaten Malang), Desa Reksosari (Kabupaten Semarang), dan Desa Melung (Kabupaten Banyumas).



2. Desa Berkembang



Desa berkembang atau yang juga dikenal sebagai desa madya, adalah desa dengan potensi besar untuk menjadi desa maju di masa depan. Desa ini memiliki sumber daya yang cukup memadai, seperti akses yang baik ke layanan dasar, infrastruktur yang berkembang, transportasi yang mudah dijangkau, pelayanan umum yang memadai, dan pemerintahan yang baik. Namun, desa tersebut belum mampu mengelola potensi yang dimilikinya secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.


Desa berkembang dapat diidentifikasi dengan Indeks Desa Madya (IDM) yang memiliki nilai antara 0,5989 hingga 0,7072. Hingga tahun 2022, Indonesia memiliki sebanyak 33.878 desa berkembang. Beberapa contoh desa berkembang di Indonesia antara lain Desa Pesanggrahan (Kabupaten Mojokerto), Desa Rejoso Kidul (Kabupaten Pasuruan), Desa Kedung (Kabupaten Tangerang), dan Desa Langkura (Kabupaten Jeneponto).



3. Desa Tertinggal



Desa tertinggal yang juga dikenal sebagai desa pramadya, merujuk pada desa-desa yang memiliki potensi sumber daya seperti layanan dasar, infrastruktur, aksesibilitas/transportasi, layanan umum, dan penyelenggaraan pemerintahan, namun belum atau kurang mampu mengelolanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia. 


Desa tertinggal dapat diidentifikasi dengan Indeks Desa Membangun (IDM) yang berada dalam rentang ≤ 0,5989 dan > 0,4907. Pada tahun 2022, terdapat total 9.202 desa tertinggal di Indonesia. Beberapa contoh desa tertinggal tersebut mencakup Desa Leuwibalang (Kabupaten Pandeglang), Desa Dolok Raja (Kabupaten Samosir), Desa Iwoikondo (Kabupaten Kolaka Timur), Desa Warambe (Kabupaten Muna), dan Desa Jareng (Kabupaten Pidie). 


Menurut pengukuran Indeks Pembangunan Desa (IPD) di Indonesia, mayoritas desa berada dalam kategori desa berkembang, mencapai 73,40%, diikuti oleh desa tertinggal sebanyak 19,17%, dan desa mandiri sebanyak 7,43%.



Berdasarkan Tingkat Pembangunan



Selain dikelompokkan berdasarkan tingkat kemajuannya, desa juga diklasifikasikan berdasarkan tingkat pembangunan dan potensi yang dimiliki wilayahnya untuk dikembangkan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, desa dapat dibagi menjadi tiga kategori: desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada.



1. Desa Swadaya



Desa Swadaya adalah desa yang sebagian besar masyarakatnya memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri. Biasanya, desa ini terletak di daerah terpencil dan memiliki interaksi yang kurang dengan masyarakat di luar desa mereka. Proses kemajuan di desa ini sangat lambat bahkan mungkin sama sekali tidak ada. 


Salah satu contoh desa yang masuk dalam kategori Swadaya adalah Desa Kanekes, yang terletak di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa ini dihuni oleh suku Badui, sebuah suku yang memiliki budaya dan tradisi yang sangat unik.


Pada kenyataannya, Suku Badui sangat berusaha untuk tidak terpengaruh oleh budaya luar guna menjaga keaslian tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan mereka. Hal ini terlihat dalam pendekatan mereka terhadap teknologi modern seperti penggunaan handphone, televisi, penerangan listrik, dan sebagainya. 


Suku Badui mempercayai bahwa peran mereka adalah untuk menjaga keseimbangan alam, dan mereka merasa bahwa mereka diciptakan untuk menjaga tanah suci (taneuh titipan) yang dianggap sebagai pusat bumi. Pemikiran ini tercermin dalam aktivitas mereka yang berfokus pada pelestarian lingkungan, seperti menjaga kebersihan sungai dan menjaga kelestarian hutan.



2. Desa Swakarya



Desa Swakarya adalah desa yang telah mencapai tingkat perkembangan yang lebih maju dibandingkan dengan desa swadaya. Masyarakatnya telah mampu menjual hasil produksi yang berlebih ke daerah lain. Meskipun interaksi di desa ini sudah mulai terlihat, namun untuk frekuensi dan intensitasnya masih jarang. Salah satu contohnya adalah Desa Kemiren di Kabupaten Banyuwangi.


Penduduk Desa Kemiren merupakan kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat dan budaya yang dikenal sebagai Suku Osing. Pemerintah telah menetapkannya sebagai cagar budaya dan mengembangkannya menjadi Desa Wisata Suku Osing. Desa Wisata Osing ini menyediakan fasilitas utama, seperti gedung kesenian sebagai objek pelestarian kebudayaan, serta fasilitas penunjang seperti penginapan dan kolam renang.



3. Desa Swasembada



Desa swasembada adalah desa yang telah berhasil mengembangkan semua potensinya secara optimal. Ciri khasnya adalah masyarakatnya mampu untuk berinteraksi dengan masyarakat di luar desa, melakukan perdagangan dengan wilayah lain, dan memiliki kemampuan untuk saling memengaruhi dengan penduduk di daerah sekitarnya. Melalui interaksi ini, masyarakat dapat mengadopsi teknologi baru untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dan memajukan proses pembangunan. 


Salah satu contoh desa swasembada adalah Desa Wonoayu, yang terletak di Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Desa ini menjadi penopang utama kebutuhan daging sapi secara nasional, dengan sekitar 87% penduduknya menggantungkan hidup dari usaha peternakan sapi. Pada beberapa bulan tertentu, pemilik sapi di Desa Wonoayu bahkan mengadakan inseminasi buatan sapi secara massal.



Bagaimana dengan desa kalian sobat? Dari klasifikasi perkembangan desa di atas, desa sobat termasuk dalam kategori mana?. Hierarki perkembangan desa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung kemajuan desa, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan kelembagaan desa. Ketiga faktor ini merupakan modal penting dalam pembangunan desa. 


Dengan demikian, jika desa sobat memiliki sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang berkualitas, dan kelembagaan desa yang kuat, maka desa sobat memiliki potensi untuk berkembang dengan cepat.



Sekian pembahasan kali ini tentang Klasifikasi Desa. Semoga bermanfaat.


Salam hangat sobat geograf.

Klasifikasi Desa: Swadaya, Swakarya, dan Swasembada
4/ 5
Oleh